Translate

Senin, 05 November 2018

TOKOH KYAI PONDOK PESANTREN TERTUA JOMBANG (Prestasi Bulan Bahasa 2016 Kategori Cerita Sejarah)


SEJARAH K.H. MIMBAR
Tokoh yang Mempunyai Kontribusi Besar dalam Syiar Agama Islam dan Cikal bakal berdirinya Pondok Pesantren Al Mimbar Sambongdukuh Jombang



                                                               

Nama :
FEBI ANUGRAINI
Alamat:
Sambongdukuh Jombang



MADRASAH ALIYAH AL BAIRUNY SAMBONGDUKUH JOMBANG
Jalan K.H. Mimbar No. 118-120 Sambongdukuh Jombang
SEJARAH K.H.  MIMBAR
SAMBONGDUKUH JOMBANG

K.H. Mimbar yang mempunyai nama asli Mohammad Manshur lahir di Jombang, Jawa Timur sekitar tahun 1900-an (tidak ada sumber yang tahu persis tahun berapa beliau lahir). Beliau adalah salah satu putra dari K.H. Hasan Rifa’i (Madiun). K.H. Mimbar merupakan pendiri pondok pesantren Al-Mimbar di desa Sambongdukuh Jombang yang merupakan salah satu pondok pesantren tertua di Jombang sebelum berdirinya pondok-pondok pesantren besar seperti PP. Bahrul Ulum di desa Tambak Beras, PP. Darul Ulum di Rejoso, PP. Mamba’ul Ma’arif di Denanyar, dan PP. Tebuireng di Cukir. Awalnya, ayahnya membangun masjid Al-Mimbar terlebih dulu. Baru kemudian, disusul oleh beliau mendirikan sebuah pondok pesantren. Masjid tersebut adalah masjid pertama di desa Sambongdukuh, Jombang. Ayah beliau  juga merupakan salah satu orang yang pertama kali menyebarkan agama islam di desanya. Terkait dengan panggilannya, K.H. Mimbar (mbah Mimbar) itu, karena beliau sering berkhutbah atau ceramah dengan berdiri di mimbar atau panggung kecil tempat berkhutbah, sehingga masyarakat memanggilnya Yai Mimbar atau K.H.Mimbar. Tempat tinggal beliau yang asli sekarang ditempati oleh cicitnya yaitu Gus Hasyim dari putrinya yang bernama Mu’minah yang juga merupakan istri K.H. Chamid Chasbulloh, Tambak Beras.
            K.H. Mimbar banyak berkerabat dengan pondok-pondok terkenal di sekitarnya seperti, dengan PP. Bahrul Ulum, TambakBeras. Yaitu dari K.H. Chamid Chasbulloh, adiknya K.H. Wahab Chasbulloh, adalah menantu dari K.H. Mimbar. Kalau dengan PP. Darul Ulum Rejoso yaitu Bu Nyai Romli (istri K.H. Romli) adalah keponakannya bu Nyai Mimbar, Bu Yatni. Untuk PP. Tebuireng juga masih saudara, namun, dari nasab yang tinggi (mbah-mbahnya).
            Ungkapan K.H. Mansyur Nur Salim (Jawa Post, 2003), cucu mbah Mimbar, bahwa Pondok pesantren Al-Mimbar ini banyak melahirkan tokoh dan tempat kyai terkenal yang pernah berguru pada mbah Mimbar, seperti K.H. Hasyim Asy’ari, yaitu pendiri Nahdlatul Ulama (sebuah organisasi massa Islam yang terbesar di Indonesia), selain berguru ilmu agama beliau juga berguru ilmu kanuragan pada mbah Mimbar, K.H. Tamim (Ayah K.H. Romli, Rejoso), K.H. Ma’ruf (Kedunglo, Kediri), dan K.H. Bakar (Bandarkidul, Kediri). “Pesantren sini kan lebih dulu berdiri. Sehingga waktu itu banyak yang mondok di sini” ujar K.H. Mansyur.
            Beberapa sumber mengatakan, dalam perjalanan hidup mbah Mimbar, beliau terkenal akan ilmu kesaktian kanuragan atau semacam ilmu bela diri. Pantas saja, didukung juga dengan bentuk fisik beliau yang tinggi dan besar. Konon, karena hal itu juga membuat para penjajah Jepang tidak berani mendekati beliau dan daerah sekitar pesantrennya. Karena ketakutan para penjajah terhadap kesaktian mbah Mimbar menjadikan pondok pesantren Al-Mimbar aman dan terlindungi dari mereka. Beliau mengajarkan ilmu kanuragan tersebut kepada santri-santrinya agar santrinya bisa menjaga diri dari segala macam bahaya. Selain itu, beliau juga pandai dalam ilmu agama, seperti fiqih, aqidah, akhlak, al-qur’an hadits, dan sebagainya. Beberapa sumber juga menyebutkan, bahwa beliau juga ahli di bidang pengobatan. Sifat beliau yang menonjol  adalah sifat penyabarnya. Beliau tidak pernah menggunakan jalan kekerasan dalam mendidik para santrinya. Beliau merupakan hafidz atau penghafal Al-Qur’an. Bahkan beliau pernah menulis sebuah Al-Qur’an yang ditulis tangan sendiri oleh mbah Mimbar dengan menggunakan tinta hitam dan merah. Sengaja dibuat berbeda oleh beliau sebagai tanda untuk memudahkan dalam membacanya. Al-Qur’an tersebut selalu berada di masjid yang sering beliau gunakan untuk mengajar mengaji para santrinya di masjid. Sayang, saat ini Al-Qur’an tersebut tidak diketahui dengan jelas keberadaannya. Keluarganya pun juga tidak mengetahui tersimpan dimanakah Al-Qur’an tersebut. Terakhir diketahui bahwa Al-qur’an itu berada di Malang, dibawa oleh cucunya. Namun, informasi itu belum dapat dipastikan kebenarannya.
Dulu, mbah Mimbar memiliki santri yang cukup banyak. Bahkan ada yang datang dari berbagai daerah. Maklum saja, beliau memang dikenal masyarakat sampai ke luar Pulau Jawa. Keadaan pondok pesantren beliau dulu tidak seperti gambaran pondok-pondok pesantren sekarang. Dulu bentuk pondoknya adalah rumah panggung dari kayu yang dibuat sendiri oleh santri-santrinya, dan letaknya juga menyebar berjejeran di sekitar rumah mbah Mimbar. Jadi, jika ada santri yang mau nyantri pada beliau, mereka akan membuat tempat tinggal untuk mereka sendiri. Mengenai K.H. Hasyim Asy’ari yang bisa menjadi murid mbah Mimbar, itu karena dulu K.H. Hasyim Asy’ari tinggal di desa Gedang, Tambak Beras, Jombang. Karena jarak rumahnya yang dekat itu maka beliau memutuskan untuk mondok di pondok pesantren Al-Mimbar. Adapun murid beliau yang lain, K.H. Tamim (ayah K.H. Romli, Rejoso). Ada cerita berkesan antara mbah Mimbar dengan K.H. Tamim. Pada suatu saat mbah Mimbar menjumpai beliau yang seketika itu sedang sedih. “ Tamim, ada apa? Kenapa kamu menangis?” Tanya mbah Mimbar. “ Saya gelisah kyai, saya bingung bagaimana nanti dengan nasib anak cucu saya” jawabnya. Kemudian beliau mendapat petunjuk dari mbah Mimbar bahwa beliau disuruh pergi ke suatu daerah dan diberitahu bahwa di daerah situlah nantinya  beliau akan jaya. Nantinya daerah itu akan menjadi ramai.  Setelah saran dari mbah Mimbar beliau laksanakan, sungguh, memang benar terjadi. Daerah tersebut makin lama makin ramai. Terbukti hingga kini kalau daerah tersebut makin ramai dan banyak penduduknya. Oleh sebab itu, masyarakat menyebut daerah itu dengan nama“Rejoso” yang artinya ramai.
            K.H. Mimbar bersahabat sangat dekat dengan K.H. Kholil, Bangkalan, Madura. Mereka berteman akrab dan tak tanggung-tanggung sampai K.H. Kholil sering mengirimkan pada mbah Mimbar seekor burung, karena beliau tahu bahwa mbah Mimbar senang sekali dengan burung. Biasanya beliau menyuruh seseorang, sebut saja sebagai utusan. Ketika utusan itu pergi mengirimkan burungnya ke kediaman mbah Mimbar dan mengingat perjalanannya yang  jauh untuk sampai di rumah mbah Mimbar, maka mereka selalu bermalam dahulu di rumah mbah Mimbar sebelum mereka pulang kembali. Suatu saat, ketika beliau menyuruh utusannya yang berada di Tuban untuk mengirim seekor burung kepada mbah Mimbar, utusan itu berangkat dengan mengendarai seekor kuda. Dalam perjalanan keberangkatannya, tak sengaja burung itu terlepas. Begitu terkejut dan bingungnya utusan itu. Akhirnya, utusan itu datang menghadap mbah Mimbar dengan tangan kosong. “Kyai maafkan saya, dalam perjalanan tadi, burung itu tiba-tiba terlepas. Saya juga kaget. Saya bingung harus bagaimana. Sempat hendak mengejar, namun tak kesampaian. Maafkan saya kyai”, ucap utusan tersebut. Lalu, mbah Mimbar memaafkan utusan itu. Lagi pula burung itu terlepas dengan sendirinya bukan karena dibuat-buat, pikir beliau. Kemudian utusan itu pulang dan menemui K.H. Kholil serta menjelaskan kejadian yang telah terjadi. Setelah dijelaskan oleh utusannya, beliau (K.H. Kholil) diam sejenak berpikir. Tak berapa lama kemudian, beliau berkata,”Ini adalah pertanda untuk K.H. Mimbar bahwa kelak di kemudian hari, lembaga pendidikan yang telah ia dirikan akan mengalami kemrosotan”. Dalam hal ini yang beliau maksud adalah pondok pesantren Al-Mimbar nantinya santrinya akan menjadi lebih sedikit.Terbukti sekarang, kalau pondok pesantren Al-Mimbar yang dulunya memiiki santri yang sangat banyak dan juga termasyhur hingga ke luar pulau Jawa sekarang menjadi lebih sedikit. Dibandingkan dengan yang dulu sangat jauh. Bahkan sekarang kemasyhuran PP. Al-Mimbar sudah jarang terdengar. Namun, saat ini para penerus K.H. Mimbar terus berupaya mengembangkan pesantren ini agar dapat mencetak generasi bangsa yang lebih baik lagi dan juga bisa mengembalikan kejayaan pesantren ini seperti dahulu kala.
K.H. Mimbar wafat pada tahun 1960-an (sampai sejarah ini ditulis belum ada yang tahu pasti pada tahun berapa K.H. Mimbar wafat) dan dikebumikan di sekitar lingkungan pondok pesantren Al-Mimbar di samping makam ayahnya (di lingkungan Madrasah Aliyah Al-Bairuny). Karena mbah Mimbar sangat terkenal pada saat itu, khususnyadi desa Sambongdukuh, maka nama mbah Mimbar diabadikan oleh masyarakat sekitar menjadi nama sebuah jalan yang letaknya di dekat kediaman mbah Mimbar. Sampai sekarang jalan itu bernama jalan K.H. Mimbar. Letaknya dari pasar Citra Niaga atau lebih dikenal dengan pasar Legi Jombang lurus ke utara.

Narasumber:  K.H. Farid Ma’ruf, L.C., M.A., (Pengasuh PP. Al Mimbar sekarang) dan Ustadz Harun Bashori Ma’ruf (Keduanya adalah keturunan dari K.H. Mimbar)
Sumber lain:   Kholis. 2003. Termasuk Pesantren Tertua. Jombang: Jawa Post.

3 komentar:

  1. Lahirnya mbah mimbar mboten tahun 1800 an nopo?, kalau mbah hasyim itu murid beliau mbah hasyim kan lahirnya 1871 apa mbah mimbar bukannya lahirnya juga lebih dulu dari mbah hasyim?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Njeh peres, menawi penulis e salah ketik Mbah mimbar kurang luwih e lahir tahun 1814

      Hapus
  2. https://ponpesalmimbar.blogspot.com/2017/07/muassis-dan-awal-berdiri-pondok-sambong.html?m=1


    Kalau saya lihat disini itu mbah mimbar itu lahir dikawal abad 18 kan wafat pada awal abad ke 19 🙏

    BalasHapus